Darah merupakan salah satu elemen yang diharamkan untuk dikonsumsi dalam Islam. Namun, bagaimana hukumnya jika darah masih terselip di daging atau tulang meskipun sudah dibersihkan dan dimasak? Pertanyaan ini kerap muncul di kalangan Muslim yang ingin memastikan kehalalan makanan yang mereka konsumsi.
Dalil Pengharaman Darah dalam Islam
Salah satu dalil utama mengenai haramnya darah dapat ditemukan dalam Al-Qur’an:
“Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang memancar atau daging babi (karena sesungguhnya semua itu kotor) atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al-An’am: 145)
Apa itu Darah yang Memancar?
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang memancar, yaitu darah yang keluar dari hewan ketika ia masih hidup atau baru disembelih. Contoh nyatanya adalah darah yang keluar saat hewan ditusuk atau disembelih.
Namun, darah yang melekat pada daging dan sulit dibersihkan tidak termasuk dalam kategori ini. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh para ulama.
Hukum Darah yang Melekat pada Daging
Menurut banyak ulama, darah yang melekat pada daging setelah proses penyembelihan dan pembersihan dihukumi sebagai najis yang dimaafkan. Artinya, jika darah tersebut tidak mengalir dan hanya terselip dalam daging, maka daging tetap dapat dikonsumsi karena najis tersebut sulit untuk dihindari.
Berikut pendapat beberapa ulama mengenai hal ini:
- Abu Ishaq Ats-Tsa’labi, pakar tafsir dari golongan Ashabus Syafi’i, menyebut bahwa darah ini tidak perlu dipermasalahkan karena sulit untuk dihindari.
- Imam Ahmad dan ulama lainnya menjelaskan bahwa darah yang tertinggal pada daging dianggap ma’fu (dimaafkan), meskipun warnanya masih terlihat pada masakan.
- Sayyidah Aisyah juga meriwayatkan bahwa darah yang tidak mengalir ini termasuk dalam najis yang dimaafkan.
Hukum Darah pada Ikan
Hukum darah ikan sedikit berbeda dibandingkan dengan darah hewan darat:
- Menurut LPPOM MUI, darah ikan yang mengalir dianggap haram dan najis.
- Pendapat dari ulama Imam Malik, Imam Ahmad, dan Daud Dhaziri menyatakan bahwa darah ikan adalah najis dan tidak boleh dikonsumsi.
- Sedangkan ulama dari kalangan madzhab Abu Hanifah berpendapat bahwa darah ikan adalah suci dan hukumnya sama seperti daging ikan itu sendiri.Madzhab Hanabilah menyebutkan bahwa ikan tidak memiliki darah hakiki, melainkan air yang bercampur dengan darah, sehingga darahnya dianggap tidak najis.
Kesimpulan
Berdasarkan pendapat para ulama, darah yang melekat pada daging setelah dibersihkan dan tidak mengalir dihukumi sebagai najis yang dimaafkan. Artinya, jika daging sudah dibersihkan dengan baik tetapi masih ada sisa darah yang tidak bisa dihindari, daging tersebut tetap halal untuk dikonsumsi. Namun, tetap dianjurkan untuk melakukan proses pembersihan daging sebaik mungkin agar makanan yang dikonsumsi lebih bersih dan suci.
Untuk pertanyaan mengenai darah ikan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian menganggapnya najis, sementara yang lain membolehkannya karena ikan tidak memiliki darah yang mengalir seperti hewan darat.