Makanan Haram Bangga Berpromosi, Kenapa Pembela Halal Kita Cela?

Photo of author

Bismillahirrahmanirrahim,

SAYA ibu rumah tangga. Saya senang membaca berita hidayatullah.com Rabu, 29 Januari 2014, tentang MUI Lembaga Resmi Pemeriksa Pangan Halal.

Keptusan Menag yang menunjuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal patut diapresiasi.

Sebagai seorang ibu yang memiliki banyak anak dan sering bingung dalam belanja, kami sering bingung memilih apakah produk makanan di Indonesia (baik local atau yang import) sudah halal.

Dengan adanya MUI sebagai lembaga resmi pelaksana pemeriksaan pangan halal (dengan diterbitkannya Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 158 Tahun 2013 tanggal 19 Desember 2013 tentang Tata Cara Sertifikasi Halal Restoran dan Non Restoran di wilayah DKI Jakarta), maka seharusnya umat Islam lebih tenang dan MUI harus semakin diberi kepercayaan luas.

Langkah ini pasti tidak langsung mulus. Orang/lembaga/pabrik yang akan terancam dengan kewenangan MUI pasti tak akan tinggal diam.

Aneh saja rasanya, saya lahir di Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tetapi sering bingung mencari makanan halal. Sementara jika saya bepergian ke luar negeri masyarakat sudah paham kemana saya harus mencari (karena saya Muslim dan memakai jilbab).

Di sisi lain, saya sering sedih, ada lembaga berwenang seperti LPPOM MUI yang kehadirannya sangat banyak membantu saya, justru kita kecam-kecam sendiri.

Bahkan di beberapa sosial media yang mengecam itu orang-orang yang tidak berkompeten dalam masalah halal dan haram.
Bandingkanlah masalah ini dengan di Bali, misalnya.

Pada 18 Oktober 2011, korab Balipost pernah memuat berita berjudul ”Industri Makanan di Bali Perlu Sertifikasi ”Sukla””.

Dalam berita itu disebutkan, Untuk menjaga wisata kuliner Bali beberapa tokoh Hindu akan menerapkan “SUKLA”. Semacam sertifikasi halal (dalam MUI) tapi ini lebih pada ‘sertifikasi HARAM.

Bentuknya adalah proses pengawasan agar sesuai dengan prinsip-prinsip kepatutan dalam pengelolaan, khususnya dari perspektif tata etika Hindu, baik dalam proses penyediaan bahan makanan hingga proses produksi yang dalam tradisi Hindu di Bali.
Karena itu, ketika ada merek (franchise) ‘‘Bakso Celeng Haram” yang diproduksi Made Andriani (wanita Bali asal Lampung), banyak tokoh Hindu Bali mengapresiasi dan mendukung.

Kabarnya, usaha ‘Bakso Haram” ini dimodali Badan Dana Punia Hindu Nasional (BDPHN) dan didesak akan didirikannya cabangnya di seluruh Bali.

Lho yang haram saja begitu bangga, bahkan berencana mendanai/memodali dan menyebarkan seluas-luasnya, bagaimana mungkin kita umat Islam bisa-bisanya ‘menggembosi’ LPPOM atau lembaga yang concern urusan kehalalan yang dampaknya hingga ke akhirat?

Aida L Yunus
Penulis ibu rumah tangga, tinggal di Surabaya

sumber: Hidayatullah.com

Tinggalkan komentar

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial