Sertifikasi halal melalui mekanisme Self Declare kini menjadi sorotan tajam di tengah publik. Sertifikasi yang seharusnya menjadi jaminan bagi konsumen Muslim untuk memilih produk yang halal, kini diragukan keabsahannya setelah beberapa kasus mencuat, seperti sertifikasi halal untuk produk yang jelas mengandung unsur non-halal.
Apa Itu Halal Self Declare?
Self Declare adalah proses di mana pelaku usaha mikro dan kecil menyatakan status halal produk mereka secara mandiri, tanpa perlu melalui audit dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Menurut aturan yang ada, ada beberapa kriteria produk yang dapat menggunakan jalur ini, tiga diantaranya:
- Produk tidak berisiko atau menggunakan bahan yang sudah dipastikan kehalalannya.
- Bahan yang digunakan telah memiliki sertifikat halal atau masuk dalam daftar bahan yang dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal sesuai Keputusan Menteri Agama Nomor 1360 Tahun 2021.
- Produk telah diverifikasi kehalalannya oleh pendamping proses produk halal.
Mekanisme ini diharapkan bisa memudahkan para pelaku usaha kecil dalam mendapatkan sertifikat halal dengan lebih cepat dan murah. Namun, munculnya kasus produk-produk yang jelas bertentangan dengan prinsip halal untuk mendapatkan sertifikasi justru memunculkan kekhawatiran di kalangan masyarakat.
Kasus Produk Non-Halal yang Tersertifikasi Halal
Salah satu kasus yang paling mencuri perhatian adalah “WINE HALAL”. Produk ini diklaim sebagai jus anggur, namun setelah diuji di laboratorium, minuman tersebut terbukti memiliki kadar alkohol sebesar 8.84%. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip halal yang melarang alkohol dalam produk makanan dan minuman.
Selain itu, ditemukan pula produk-produk dengan nama seperti beer, wine, dan tuak yang juga terdaftar di aplikasi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Produk-produk ini mendapatkan sertifikasi halal melalui jalur Self Declare, meskipun tidak memenuhi kriteria halal yang seharusnya.
Aturan Penamaan Produk dalam Sertifikasi Halal
Berdasarkan HAS23000, merek atau nama produk tidak boleh menggunakan istilah yang mengarah pada sesuatu yang diharamkan atau praktik ibadah yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Hal ini diperkuat oleh SK46/Dir/LPPOM MUI/XII/14 yang menyatakan bahwa dari segi penamaan, produk yang tidak dapat disertifikasi adalah produk yang mengandung nama minuman keras, babi, anjing beserta turunannya, serta yang mengandung nama setan atau hal-hal yang mengarah pada kekufuran dan kebatilan.
Selain itu, menurut Fatwa Islam Nomor 23475, menggunakan istilah-istilah yang Allah haramkan untuk menyebut sesuatu yang dihalalkan adalah perbuatan yang tidak mencerminkan ketaatan kepada aturan Allah. Dalam konteks ini, mencantumkan nama-nama produk non-halal seperti wine atau beer dalam sertifikasi halal, dianggap sebagai bentuk meremehkan hukum Allah.
Kelemahan Halal Self Declare
Meskipun Self Declare memberikan kemudahan, metode ini juga memiliki sejumlah kelemahan yang perlu menjadi perhatian, terutama karena prosesnya yang dianggap kurang profesional. Aisha Maharani, Founder Halal Corner, menyampaikan beberapa poin kelemahan dari Halal Self Declare ini:
- Tidak ada audit dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
- Rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
- Dapat mengurangi kepercayaan internasional terhadap standar produk halal Indonesia.
- Minimnya pengawasan terhadap produk yang menggunakan jalur Self Declare memungkinkan produk dengan kandungan non-halal lolos sertifikasi.
Penutup
Kasus-kasus yang muncul terkait sertifikasi halal melalui jalur Self Declare menunjukkan bahwa sistem ini masih memerlukan banyak perbaikan, terutama dari segi pengawasan dan verifikasi. Sebagai negara dengan mayoritas Muslim, menjaga integritas sistem sertifikasi halal sangat penting, baik untuk kepercayaan masyarakat dalam negeri maupun untuk menjaga reputasi produk halal Indonesia di kancah internasional.