HALALCORNER.ID, Jakarta.
Warisan biasanya menjadi sesuatu yang diperebutkan. Sehingga tak jarang kita mendengar konflik antar keluarga akibat warisan. Namun ada warisan yang tidak banyak dicari apalagi diperebutkan. Itu adalah ulama sebagai warisan nabi. Entah bagaimana nasib kita jika tanpa keberadaan ulama. Entah bagaimana kita menyembah Tuhan jika tanpa adanya karya para ulama. Para ulama yang salih serta karya-karyanya yang sohih mampu membimbing kita dalam menjalankan kehidupan ini untuk meraih ridha Allah swt.
Disini kita bisa melihat posisi ulama, peranannya yang sangat penting bagi kehidupan. Oleh karena itu maka sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk menjaga, membela, dan memuliakannya. Namun miris, akhir-akhir ini banyak sekali upaya untuk menghentikan langkah dakwah para ulama dengan berbagai serangan yang dilakukan. Baik itu untuk membunuh karakternya atau mencelakakan jiwanya.
Seperti halnya peristiwa pengrusakan kantor pusat MUI dengan melakukan penembakan. Hal ini bukanlah masalah sepele, karena disana merupakan pusat kegiatan guru-guru kita dalam memecahkan masalah sosial, khususnya yang berhubungan dengan agama Islam. Tentu peristiwa itu harus menjadi pelajaran untuk kita bahwasannya kita tidak boleh lengah dan abai serta lupa akan kewajiban yakni menjaga, membela, dan memuliakan ahli waris para nabi.
Dalam menjaga para ulama, kita bisa berkontribusi dengan menciptakan pengamanan disetiap acara yang diadakan, ditempat peribadatan, dan pusat-pusat kegiatan keagamaan lainnya. Baik dengan pengawalan atau melengkapi tempat-tempat tersebut dengan tekhnologi keamanan yang maju. Selain itu, kita bisa terus mengawal terhadap kasus-kasus yang menimpa para guru kita agar transparan dan tidak ada sabotase.
Selain menjaga, kita pun perlu membela. Membela dengan menyebarkan ilmu-ilmu yang disampaikan para ulama agar sampai kepada masyarakat. Mengemas ilmu-ilmu tersebut sesuai dengan objek dakwah. Dakwah itu menyeru agar seseorang mengikuti jalan yang lurus. Oleh karenanya, dakwah memerulukan strategi yang bisa diterima oleh objek dakwah. Artinya, jika dakwah dimaknai hanya pada penyampaian ajaran agama di masjid-masjid dan majelis ilmu secara formal, maka objek dakwah yang tidak pernah mengikuti kedua tempat yang disebutkan tadi tidak akan pernah mengetahui ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Walhasil, tatkala ada kelompok yang berusaha membunuh karakter ulama dan mendiskreditkannya melalui media sosial, masyarakat akan sangat mudah terbawa arus dan menjadi korban adu domba. Untuk itulah kenapa dakwah perlu dilakukan juga di dunia digital secara massif. Selain itu pengguna internet di Indonesia sebagaimana yang disebutkan oleh Machyudin Agung Harahap dan Susri dalam jurnal peletiannya yang berjudul Tren Pengguna Media Sosial Selama Pandemi di Indonesia mencapai 196 juta. Media sosial yang paling banyak digunakan adalah youtube (88%), whatsapp (84%), facebook (82 %), instagram (79%), dan twitter (56%).
Dari data tersebut, adanya peningkatan dalam penggunaan media sosial harus diiringi dengan literasi positif sebagai bentuk membela ulama. Pengguna media sosial bisa mengakses media sosial yang dimilikinya kapan pun, apapun, dan dimanapun. Berbeda dengan dakwah secara formal yang dilakukan di masjid atau majelis ilmu lain mungkin hanya dilakukan seminggu tiga kali atau satu kali, itu pun hanya beberapa jam saja.
Posisi ulama sebagai warisan para nabi amatlah mulia, perannya untuk kehidupan kita juga sangatlah besar. Sebagai bentuk memuliakannya kita harus menjaga dan membela agar termasuk pada orang-orang yang senantiasa bersama para ulama. Allah swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama shadiqin” (At-Taubah: 119)
Shadiqin adalah orang-orang yang benar, membenarkan adanya Allah serta aturan-aturannya. Seperti halnya Abu Bakar yang digelari ash-shidiq dimana itu diberikan ketika beliau membenarkan peristiwa isra mi’raj yang pada saat itu banyak orang-orang tidak percaya. Shadiqin adalah orang-orang yang takut kepada Allah swt dan sifat inilah yang dimiliki oleh para ulama salih. Dengan ilmunya menjadikan ia tunduk sepenuhnya kepada Allah swt.
Allah swt berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama” (Al-Fathir: 28)
Redaksi: AM/Iwan Setiawan