[:id]HALALCORNER.ID, Jakarta.
Di tengah pandemi Covid-19, selain masker medis dan sabun cuci tangan yang sulit untuk diperoleh, produk vitamin C juga semakin langka di pasaran. Hal ini disebabkan vitamin C dipercaya dapat meningkatkan daya tahan tubuh, membantu sistem imunitas tubuh, dan antioksidan. Di satu sisi, pemintaan akan produk vitamin C yang melonjak naik sudah melewati suplai saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia sehingga ketersediaan produk vitamin C terus menipis.
Perlukah mengetahui status kehalalan produk Vitamin C?
Berdasarkan proses di industri, vitamin C dapat dibuat melalui sintesis kimiawi ataupun proses biotransformasi. Pada proses biotransformasi, mikroorganisme membutuhkan media pertumbuhan sebagai sumber nutrisi untuk menghasilkan vitamin C. Titik kritis kehalalannya adalah komposisi media pertumbuhan yang digunakan apakah mengandung bahan yang diharamkan atau tidak.
Secara struktur kimiawi, vitamin C sangat mudah teroksidasi sehingga dapat menurunkan khasiatnya. Oleh karena itu, supaya produk vitamin C tidak kehilangan khasiatnya, vitamin C memerlukan matriks pelindung atau coating agent. Salah satu coating agent yang perlu dikritisi kehalalannya adalah gelatin. Gelatin diperoleh melalui hidrolisis parsial kolagen oleh asam/basa. Sumber kolagen teradapat pada kulit dan tulang hewan. Dengan demikian, perlu dipastikan bahwa sumber kolagen berasal dari hewan yang dihalalakan secara syariat Islam. Apabila hewan tersebut perlu disembelih, proses penyembelihan harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang syar’i.
Pada kondisi alami, vitamin C memiliki rasa asam dan dapat menurunkan tingkat penerimaan konsumen. Dengan alasan tersebut, industri menggunakan perisa seperti perisa jeruk, lemon, apel, dan sebagainya untuk meningkatkan sifat sensoris. Komponen perisa terdiri dari puluhan bahkan ratusan senyawa kimia yang perlu diteliti status kehalalannya
Penulis: Agam Gumawang, STP, Auditor Halal LPPOM MUI DKI Jakarta, Kordinator Auditor Tahun 2016
Redaksi: HC/AG
Editor: Aisha[:]