Fenomena kenaikan harga emas kembali mencuri perhatian masyarakat Indonesia. Dalam beberapa bulan terakhir, harga emas mengalami lonjakan signifikan hingga mencapai Rp2 juta per gram. Kenaikan ini dipicu oleh berbagai faktor global, seperti ketegangan geopolitik, inflasi, dan melemahnya nilai tukar mata uang terhadap dolar AS. Tak heran jika masyarakat berbondong-bondong membeli emas, baik sebagai instrumen investasi maupun perlindungan nilai terhadap ketidakpastian ekonomi.
Emas, selain bernilai secara ekonomi, juga memiliki kedudukan tersendiri dalam pandangan Islam. Dalam syariat, emas termasuk dalam kategori al-tsaman al-mutaqawwim (alat tukar yang bernilai) dan termasuk jenis harta ribhul-mal yang bisa dijadikan tabungan, investasi, bahkan mahar. Emas merupakan barang ribawi yang perlu hati-hati dalam melakukan transaksinya agar tidak terjerumus pada riba. Emas sebagai pelindung nilai, juga mempunyai aturan khusus yakni harus mengeluarkan zakatnya apabila sudah mencapai nishab 85 gram emas dan haul.
Dalam Al-Qur’an, Allah Swt mengancam orang yang menimbun emas (tidak mengeluarkan zakat) berfirman:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”
(QS. At-Taubah: 34)
Ayat ini menunjukkan bahwa emas harus dimanfaatkan secara produktif dan tidak boleh hanya ditimbun tanpa tujuan. Maka dari itu, menabung emas dengan niat menjaga nilai harta atau mempersiapkan kebutuhan di masa depan bisa menjadi langkah yang tidak hanya bijak secara ekonomi, tetapi juga bernilai ibadah bila dikelola dengan niat dan cara yang benar serta menunaikan kewajibannya yaitu zakat.
Menabung emas idealnya dilakukan secara bertahap dalam jangka panjang, bukan saat harga sedang tinggi, kecuali jika tujuannya untuk menyimpan nilai daripada mengejar keuntungan. Banyak pakar keuangan menganjurkan untuk membeli emas secara berkala, yaitu membeli dalam jumlah kecil secara rutin agar fluktuasi harga dapat ditekan. Bila seseorang memiliki dana lebih, membeli saat harga relatif stabil atau menurun adalah strategi yang lebih bijak.
Namun, fenomena saat ini menunjukkan bahwa banyak masyarakat membeli emas dalam situasi harga tinggi karena dorongan psikologis massal atau fear of missing out (FOMO). Padahal, dalam perspektif syariah dan manajemen keuangan Islam, pembelian aset semacam ini harus didasarkan pada pertimbangan maslahat dan kebutuhan jangka panjang, bukan sekadar tren semata.
Salah satu cara populer dalam menabung emas saat ini adalah melalui sistem cicilan di lembaga keuangan syariah, seperti di Pegadaian Syariah, Bank Syariah, atau BPRS. Sistem ini biasanya menggunakan akad murabahah, yaitu jual beli dengan margin keuntungan yang disepakati. Alurnya, lembaga keuangan membeli emas terlebih dahulu, lalu menjualnya kepada nasabah dengan harga yang telah ditambahkan margin keuntungan, yang dibayar secara angsuran.
Praktik semacam ini telah mendapatkan legitimasi syar’i melalui Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Fatwa DSN MUI No. 77 Tahun 2010 tentang jual beli emas. Dalam fatwa ini dijelaskan bolehnya mencicil emas (nabung emas) sepanjang emas tersebut bukan lagi sebagai alat pembayaran (melainkan sebagai komoditas), dan transaksi menggunakan akad murabahah atau akad lain yang sesuai syariah. Lembaga keuangan juga harus sudah memiliki barang sebelum dijual ke nasabah, sehingga transaksi tetap sesuai prinsip syariah.
Selain murabahah, ada juga sistem wadiah atau titipan, di mana nasabah menitipkan dana untuk dikonversi menjadi emas secara bertahap, tanpa janji imbal hasil. Dalam model ini, emas bisa diambil sesuai saldo, dan nilainya mengikuti harga pasar saat penarikan. Hal ini sesuai dengan prinsip syariah karena tidak ada unsur spekulasi (gharar) atau riba.
Islam tidak melarang umatnya memiliki dan menabung emas, bahkan Rasulullah saw bersabda:
ادَّخِرُوا لِوَرَثَتِكُمْ، فَإِنَّهُ خَيْرٌ
“Simpanlah sebagian hartamu untuk warisan bagi keluargamu, karena itu lebih baik.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, bila dilakukan secara cicilan, penting untuk memahami akad yang digunakan dan memilih lembaga keuangan yang patuh syariah, agar harta yang kita simpan tidak hanya aman secara duniawi, tetapi juga bernilai ibadah di sisi Allah Swt.