Hukum dan Tatacara Membersihkan Wadah Bekas Masakan Babi

Photo of author

HALALCORNER.ID, Jakarta. Pembahasan mengenai babi masih terus menarik, pasalnya terkait babi ini selalu menjadi kontroversi. Meski umat Islam merupakan penduduk mayoritas di Indonesia, tetap saja masih ada yang mengambil jalan pintas untuk mencari popularitas. Salah satunya dengan mengangkat tema terkait babi. Seperti TikToker Lina Mukerji yang mencari sensasi dengan kontennya memakan kulit babi kriuk dengan diawali membaca basmalah. Begitu juga Ade Armando sebagaimana dilansir republika.co.id yang mengemukakan pendapat kontroversi terkait babi, bahwasannya tidak semua babi (khinzir) itu haram, karena yang diharamkan adalah babi liar, bukan babi ternak. (republika, diakses pada tanggal 18 Mei 2023).

Keharaman Babi

Keharaman babi dinyatakan dalam syariat dan juga mendapatkan legitimasi undang-undang. Babi menjadi salah satu hewan yang biasa diolah untuk dimakan. Seperti dibuat sate babi, kulit kriuk, babi rica-rica dan masih banyak lagi jenis olahan dari babi. Selain dijadikan bahan baku dalam olahan, babi juga digunakan sebagai bahan tambahan atau bahan penolong dalam makanan. Mengingat Indonesia mayoritas muslim, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Didalam undang-undang tersebut, pada pasal 18 dikatakan bahwa bahan yang diharamkan untuk digunakan dalam membuat produk diantaranya adalah bangkai, darah, babi, dan hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat. Para ulama sepakat mengenai keharaman babi, meski terdapat perbedaan apakah yang menjadi keharamannya itu dagingnya saja atau seluruh bagian dari babi itu sendiri. Perbedaan pendapat itu terjadi dalam memahami makna lahmul khinzir (daging babi) dalam Al-Qur’an.

Allah swt berfirman:

قُل لَّاۤ اَجِدُ فِىۡ مَاۤ اُوۡحِىَ اِلَىَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطۡعَمُهٗۤ اِلَّاۤ اَنۡ يَّكُوۡنَ مَيۡتَةً اَوۡ دَمًا مَّسۡفُوۡحًا اَوۡ لَحۡمَ خِنۡزِيۡرٍ فَاِنَّهٗ رِجۡسٌ اَوۡ فِسۡقًا اُهِلَّ لِغَيۡرِ اللّٰهِ بِهٖ‌‌ۚ فَمَنِ اضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ رَبَّكَ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ

“katakanlah, tidak aku dapati didalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi, karena semua itu kotor (najis) atau hewan yang disembelih bukan atas nama Allah…” (Al-An’am: 145).

Imam Mawardi mengatakan dalam kitabnya  al-Hawi al-Kabir:

“maksud dari daging babi (pada ayat pengharaman babi) adalah babi itu secara keseluruhan, karena kenajisan daging babi sudah masuk pada keumuman bangkai” (Imam al-Mawardi, Al-Hawi al-kabir: 316).

Jadi apapun yang diambil dari babi itu hukumnya haram, baik itu untuk dikonsumsi atau digunakan. Karena selain termasuk pada hewan yang haram dikonsumsi, babi juga merupakan hewan yang najis. Meski kenajisan ini diperselisihkan sebab dalam madzhab Maliki babi (yang masih hidup) tidak najis (An-Nawawi, Syarh al-muhadzab: (2), 587). Berbeda dengan madzhab Syafii, babi dikategorikan sebagai najis mughaladzhah, yaitu najis berat dimana mensucikannya harus dengan cara tertentu.

Penanganan Najis dalam Madzhab Syafii

Dalam madzhab Syafii, najis dibagi pada tiga bagian dilihat dari berat dan ringannya. Yaitu pertama najis mughaladzah (berat), kedua najis mutawasithah (pertengahan), ketiga najis mukhafafah (ringan). Perbedaan tingkatan najis ini berimplikasi pada perbedaan cara membersihkannya. Najis yang berat (mughaladzah) seperti najis babi, cara mensucikannya adalah dengan membasuh sebanyak tujuh kali basuhan air dan salah satunya dicampur dengan debu. Adapun najis mutawasithah seperti kotoran ayam, mensucikannya dengan membasuh benda yang terkena najis ini sampai hilang wujud dan sifat najisnya. Sementara najis ringan (mukhafafah) cukup dengan memperciki air keseluruh benda yang terkena najis.

Jadi untuk benda yang terkena najis mughaladzah seperti babi, misalnya wadah yang telah digunakan untuk memasak babi atau menyimpan hasil olahan babi. Cara membersihkannya dengan mencucinya sebanyak tujuh kali basuhan, salah satunya dicampur dengan debu. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah mengenai jilatan anjing pada wadah.

“Sucinya wadah seseorang diantara kalian apabila terkena jilatan anjing adalah hendaknya ia mencucinya sebanyak tujuh kali yang permulaannya dicampur dengan debu” (H.R. Muslim)

Meski yang disebutkan dalam hadits adalah anjing, didalam madzhab Syafii status babi disamakan dengan anjing yaitu najis. Imam al-Mawardi mengatakan bahwa babi itu lebih buruk dari pada anjing, anjing bisa digunakan dalam beberapa keadaan seperti untuk memburu, sementara babi tidak. Oleh karena itu babi lebih pantas dihukumi najis dan mensucikan benda yang terkena najis babi disamakan dengan benda yang terkena najis jilatan anjing, yaitu tujuh kali basuhan dan salah satunya dicampur dengan debut.

Hanya saja, bisa jadi itu menyulitkan untuk sebagiah orang. Misalnya orang yang bekerja di restoran yang mengolah babi, atau orang yang hidup di wilayah mayoritas non muslim, sementara antara mereka terjadi  saling memberi makanan sebagai bentuk kerukunan bertetangga, atau orang yang bekerja di rumah non muslim, yang biasa mengkonsumsi babi. Maka dalam konteks seperti ini, apabila sulit menemukan tanah untuk mencampurkan pada salah satu basuhan. Bisa mengikuti pendapat yang tidak perlu dibasuh tujuh kali untuk mensucikan wadah bekas atau terkena babi.

Pendapat ini berdasarkan surat Al-An’am ayat 145. Bahwasannya dalam ayat tersebut Allah menyatakan bahwa babi itu najis setelah menyebutkan benda-benda najis lainnya seperti darah dan bangkai. Artinya, status kenajisan babi sama dengan najis lainnya yaitu darah dan bangkai. Untuk mensucikan darah tentu tidak perlu dengan tujuh kali basuhan dan salah satunya dicampur dengan debu. Sehingga hal itu pun berlaku untuk mensucikan wadah bekas olahan babi, tidak perlu dengan tujuh kali basuhan layaknya mensucikan wadah yang terkena liur anjing. Tetapi cukup bersihkan saja seperti biasa sampai najisnya kira-kira hilang.

Selain itu ada hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang secara spesifik menjelaskan terkait cara mensucikan wadah yang terkena najis babi. Ketika Abu Tsa’labah bertanya kepada Rosulullah saw mengenai makanan yang diberikan non muslim, sementara wadahnya dikhawatirkan bekas olahan babi. Maka nabi menganjurkan untuk memakai wadah yang lain jika ada, apabila tidak ada, cukup untuk membasuh wadah tersebut dan nabi pada saat itu tidak menjelaskan apakah harus tujuh kali basuhan atau tidak perlu. Sehingga diambil kesimpulannya bahwa dalam mensucikan wadah yang terkena najis babi cukup membersihkannya sampai najisnya hilang.

Wallahu’alam     

Redaksi: AM/Iwan Setiawan

Tinggalkan komentar

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial