[:id]Mengkritisi UU Ciptaker – Halal [:]

Photo of author

By IB

[:id]Bismillahirrahmanirrahim

Pada Senin, (5/10/2020) Dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat omnibus law Cipta Kerja telah disahkan. 81 undang undang diubah termasuk bidang Halal. Beberapa pasal yang utama sangat beresiko jika dijalankan dalam standard dan system sertifikasi halal yang telah berjalan selama ini.

Beberapa poin dalam pasal itu terkesan menguntungkan pihak pihak tertentu dan mengabaikan kaidah system sertifikasi halal yang sudah diakui banyak negara. Poin poin tersebut antara lain adalah:

1. Self Declare

•   Pasal 4A

(1) Untuk Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 didasarkan pernyataan pelaku usaha Mikro dan Kecil
(2) Pernyataan Pelaku Usaha dan Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat(1) berdasarkan standar halal yang ditetapkan BPJPH

Pasal ini mengembangkan banyak pertanyaan bagi saya

  1. Bagaimana teknis pelaksanaan Self Declare?
  2. Apakah mempunyai SOP dan terdokumentasi atau hanya pernyataan verbal?
  3. Standar halal seperti apa yang ditetapkan BPJPH untuk bisa mengeluarkan self declare?
  4. Siapa Penjamin, Pengawas dan system penjaminan serta pengawasannya?
  5. Jika BPJPH bagaimana juklak dan satgas yang mengawasi sudah ada pengetahuan mumpuni?
  6. Apakah ada batas berlaku untuk self declare?

Dan pasal ini sangat beresiko menimbulkan

  • Manipulasi status usaha pengaju self declare
  • Potensi suap

2. Reduksi wewenang MUI

• Pasal 35

(1) Dalam hal LPH dan atau MUI atau Ormas Islam yang berbadan hukum tidak dapat memenuhi batas waktu yang ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, BPJPH mempunyai wewenang mengambil alih sertifikasi halal

• Pasal 31

(1) Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1) dilakukan oleh auditor Halal paling lama 15 hari kerja.

• Pasal 42

Untuk perpanjangan produk halal yang masanya 4 tahun perusahaan mengajukan kembali pembaharuan sertifikat halal kepada BPJPH. Dengan memberi pernyataan tidak mengalami perubahan, maka BPJPH bisa menerbitkan sertifikat halalnya.

Pasal-pasal ini memotong alur sertifikasi halal dalam hal fatwa halal, padahal fatwa halal dari MUI adalah salah satu hal yang krusial. Mem-bypass perangkat ini adalah tidak patut sehingga bisa menghilangkan esensi halal itu sendiri

3. Penghapusan Kriteria Halal Auditor dalam Pasal 14

Bagaiamana jadinya jika auditor halal yang misal juga juru sembelih halal dari luar Islam menyembelih hewan halal, akan jadi tidak sah sembelihannya. Seorang auditor halal sudah tentu harus paham tentang sertifikasi halal, jika tidak bagaimana dia akan menjalankan prosedur sertifikasi halal.

Percepatan sertifikasi halal bukan dengan cara memangkas alurnya sehingga menghilangkan substansi halal itu sendiri. Jika ini dilakukan maka bukan menguatkan industry halal tapi malah melemahkannya. Kualitas halal di Indonesia akan jauh lebih buruk dari regulasi sebelumnya. Bahkan jaminan halal dari pemerintah tidak akan dipercaya oleh umat Islam Indonesia, mereka khawatir dengan adanya pemotongan proses, produk yang dinyatakan halal berpotensi syubhat bahkan haram.

 

Penulis:

Aisha Maharani
Founder Halal Corner, ex staf LPPOM MUI, Penggiat Halal Indonesia

[:en]Mengkritisi Undang Undang Ciptaker – Halal
Bismillahirrahmanirrahim
Pada Senin, (5/10/2020) Dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat omnibus law Cipta Kerja telah disahkan. 81 undang undang diubah termasuk bidang Halal. Beberapa pasal yang utama sangat beresiko jika dijalankan dalam standard dan system sertifikasi halal yang telah berjalan selama ini. Beberapa poin dalam pasal itu terkesan menguntungkan pihak pihak tertentu dan mengabaikan kaidah system sertifikasi halal yang sudah diakui banyak negara. Poin poin tersebut antara lain adalah:
Self Declare
Pasal 4A
Untuk Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 didasarkan pernyataan pelaku usaha Mikro dan Kecil
Pernyataan Pelaku Usaha dan Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat(1) berdasarkan standar halal yang ditetapkan BPJPH
Pasal ini mengembangkan banyak pertanyaan bagi saya
Bagaimana teknis pelaksanaan Self Declare?
Apakah mempunyai SOP dan terdokumentasi atau hanya pernyataan verbal?
Standar halal seperti apa yang ditetapkan BPJPH untuk bisa mengeluarkan self declare
Siapa Penjamin, Pengawas dan system penjaminan serta pengawasannya? Jika BPJPH bagaimana juklak dan satgas yang mengawasi sudah ada pengetahuan mumpuni?
Apakah ada batas berlaku untuk self declare?
Dan pasal ini sangat beresiko menimbulkan
Manipulasi status usaha pengaju self declare
Potensi suap

Reduksi wewenang MUI
Pasal 35
Dalam hal LPH dan atau MUI atau Ormas Islam yang berbadan hukum tidak dapat memenuhi batas waktu yang ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, BPJPH mempunyai wewenang mengambil alih sertifikasi halal
Pasal 31
Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1) dilakukan oleh auditor Halal paling lama 15 hari kerja.
Pasal 42
Untuk perpanjangan produk halal yang masanya 4 tahun perusahaan mengajukan kembali pembaharuan sertifikat halal kepada BPJPH. Dengan memberi pernyataan tidak mengalami perubahan, maka BPJPH bisa menerbitkan sertifikat halalnya.
Pasal-pasal ini memotong alur sertifikasi halal dalam hal fatwa halal, padahal fatwa halal dari MUI adalah salah satu hal yang krusial. Mem-bypass perangkat ini adalah tidak patut sehingga bisa menghilangkan esensi halal itu sendiri
Penghapusan Kriteria Halal Auditor dalam Pasal 14
Bagaiamana jadinya jika auditor halal yang missal juga juru sembelih halal dari luar Islam menyembelih hewan halal, akan jadi tidak sah sembelihannya. Seorang auditor halal sudah tentu harus paham tentang sertifikasi halal, jika tidak bagaimana dia akan menjalankan prosedur sertifikasi halal.

Percepatan sertifikasi halal bukan dengan cara memangkas alurnya sehingga menghilangkan substansi halal itu sendiri. Jika ini dilakukan maka bukan menguatkan industry halal tapi malah melemahkannya. Kualitas halal di Indonesia akan jauh lebih buruk dari regulasi sebelumnya. Bahkan jaminan halal dari pemerintah tidak akan dipercaya oleh umat Islam Indonesia, mereka khawatir dengan adanya pemotongan proses, produk yang dinyatakan halal berpotensi syubhat bahkan haram.

Penulis:
Aisha Maharani
Founder Halal Corner, ex staf LPPOM MUI, Penggiat Halal Indonesia[:]

Tinggalkan komentar