Tanggapan Kasus Temuan Pangan Olahan Yang Mengandung Babi (Porcine)oleh Aisha Maharani, Founder dan CEO Halal Corner Indonesia

Photo of author

Pada tanggal 21 April 2025, BPJPH dan BPOM melakukan pengawasan bersama terhadap produk yang mengklaim telah bersertiifikasi halal.

Berdasarkan hasil pengawasan kedua badan tersebut ditemukan 11 batch produk dari 9 produk pangan olahan yang nengandung unsur babi (porcine). Temuan itu didapatkan dari pengujian laboratorium dengan paramater uji DNA dan/atau peptida spesifik porcine. Dari 9 temuan didapatkan 7 produk telah mendapatkan sertifikat halal dan 2 produk tidak bersertifikat halal. Untuk hal ini BPJPH telah melakukan tindakan berupa penarikan produk dari peredaran sebagai sanksi kepada pihak produsen yang telah melanggar aturan dan perundangan sertifikasi halal di Indonesia.

Untuk temuan pelanggaran prosedur sertifikasi halal, tanggapan dari Aisha Maharani, Founder Halal Corner, disebutkan bahwa kasus semacam ini bukan sekedar temuan kandungan bahan saja tapi juga proses produk halal mulai dari hulu ke hilir.

Dalam PP 42 tahun 2024 (sebelumnya di PP 39/2021) BPJPH sebagai badan penyelenggara Jaminan Produk Halal memiliki peran penting dalam menerima laporan dan melakukan pengawasan. BPJPH bertugas menerima laporan dari pelaku usaha terkait perubahan bahan dan/atau proses produk halal sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf d dan Pasal 51 huruf e. Selain itu, BPJPH juga berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan JPH, termasuk memverifikasi implementasi Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) oleh pelaku usaha (Pasal 5 huruf h dan Pasal 52). Sementara di lapangan, SJPH saat ini hanya sekedar template dokumentasi persyaratan sertifikasi saja bukan sebagai implementasi, bahkan di Halal Self Declare, SJPH ini ditiadakan. hal ini mengakibatkan peran BPJPH dalam pengawasan belum optimal.

Sedangkan kewajiban pelaku usaha yang ber-SH: Dalam PP Nomor 42 Tahun 2024, pelaku usaha yang sudah memiliki sertifikat halal diwajibkan untuk secara aktif melaporkan setiap perubahan bahan dan/atau proses produk halal (PPH) kepada BPJPH (Pasal 51 huruf e). Dan laporan ini seharusnya diberikan secara berkala kepada LPH dan BPJPH per 6 atau 1 tahun sekali. Hal ini mencegah agar standar halal tidak diabaikan oleh pelaku usaha.

Dengan sistem tidak ada masa berlaku sertifikasi halal, sangat memudahkan pelaku usaha melakukan manipulasi data dan bahan, apalagi sistem pengawasan belum ada jelas secara teknis dan prosedurnya. Tidak ada masa berlakunya sertifikasi halal seperti jebakan batman, seolah manis tapi malah membuka peluang kejahatan yang dilakukan oleh pelaku usaha.

Peraturan masa berlaku ini harus dikembalikan ke peraturan awal, dengan masa berlaku 2 tahun sekali sehingga kita bisa memastikan komitmen pelaku usaha dalam menjaga jaminan halal produknya.

Produk yang menjadi temuan, sebagian besar adalah produk impor, ini juga jadi hal kritis ketika produk impor telah disertifikasi halal oleh lembaga halal luar negeri yang pengakuannya masih kurang ketat dalam kurasinya.

Terakhir kurangnya koordinasi antara lembaga pemangku sertifikasi halal yang menjadikan peluang adanya masalah pelanggaran standar halal oleh pelaku usaha mencuat ke publik dan lolos dari pengawasan.

Tinggalkan komentar

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial