[:id]Halalcorner.id, Mengetahui halal dan haram bagi seorang muslim merupakan perkara yang tidak bisa disepelekan. Pasalnya, setiap apa yang seseorang miliki kemudian konsumsi akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat, waspadai harta warisan tidak halal.
Pertanggungjawaban terkait harta bukan hanya tentang bagaimana ia mengkonsumsinya, namun juga tentang asal muasal harta tersebut, darimana ia mendapatkannya. Rosulullah saw bersabda:
“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya tentang umurnya kemana dihabiskan, tentang ilmunya bagaimana ia mengamalkannya, tentang hartanya dari mana diperolehnya dan kemana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa ia gunakan” (H.R. Tirmidzi).
Mengenai harta kekayaan bagi orang yang mempunyai ghirah keislaman yang kuat tentu senantiasa akan berhati hati dalam mendapatkan dan membelanjakannya. Sehingga tak heran jika banyak kita jumpai kajian kajian keislaman yang membahas tentang kegiatan ekonomi di masyarakat seperti permodalan syariah, makanan halal dan haram, transaksi yang halal pada zaman modern dan sebagainya. Tetapi jarang pembahasan halal haram itu ditujukan pada harta warisan. Dampak dari semua itu adalah terabaikannya ilmu waris dari kehidupan sebagian muslim. Padahal umat muslim tentu juga harus tetap waspadai Harta warisan yang tidak halal dalam harta yang ia dapatkan.
Nabi Muhammad saw bersabda:
“Pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku”. (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan AlHakim).
Selain dari terabaikannya ilmu waris, ketidak tahuan akan ilmu ini bisa saja menyebabkan terjerumusnya seseorang kedalam sesuatu yang haram dengan mengkonsumsi harta yang bukan haknya. Sebagai contoh, jika ada seorang suami meninggal, ia meninggalkan ahli waris yaitu istri dan 2 anak perempuan serta saudara laki laki. Maka kebiasaan yang terjadi dimasyarakat harta pewaris (suami) dikuasai oleh istri seluruhnya.
Wafatnya pewaris tidak mengubah status harta yang ditinggalkannya, mobil masih terparkir digarasi rumahnya, tabungan dan investasi masih mengendap dalam rekening, sawah dan kebun malah tidak terurus. Padahal, istri hanya mendapatkan 1/8 saja (An Nisa: 12) dan anak perempuan mendapatkan 2/3 (An Nisa: 11), sedangkan sisanya adalah merupakan hak dari saudara laki laki pewaris yang kerap kali ini dilupakan, sehingga secara tidak langsung si istri sudah memakan harta yang bukan haknya.
Tetapi, bukankah cukup dengan kita menanyakan kepada orang yang faham tentang ilmu waris, sehingga kita tidak terjerumus pada harta yang haram?. Memang, anggapan itu tidak sepenuhnya salah. Karena ketika kita tidak tahu tentang sesuatu, apalagi perkara agama. Kita harus bertanya pada orang yang mengetahuinya.
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (An Nahl: 43).
Tetapi, dengan adanya anggapan tersebut justru yang malah menyebabkan adanya pertikaian antara ahli waris yang merupakan keluarga, bahkan sampai meretakkan hubungan keluarga. Karena tidak faham sedikit pun tentang perkara waris, akhirnya tatkala orang yang diberi kepercayaan memutuskan bagian bagian ahli waris, tidak sedikit ahli waris yang menolak, tidak menerima akan keputusan tersebut. Kenapa ? sebab keputusannya tidak memuaskan, dianggap tidak adil, serta ia punya tolak ukur keadilan sendiri. Ini akibatnya jika ahli waris tidak tahu sedikitpun tentang ilmu waris, sehingga ketidak tahuannya tersebut melahirkan ketidakmauan untuk diatur dengan aturan yang ada. Padahal Allah swt telah berfirman:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ خالِدِينَ فِيها وَذلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خالِداً فِيها وَلَهُ عَذابٌ مُهِينٌ
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (An Nisa: 13-14).
Permasalahan ini sering terjadi, cekcok masalah waris akibat ketidak tahuan yang melahirkan ketidak mauan untuk diatur dengan aturan waris sehingga para ahli waris ini mempunyai tolak ukur keadilan masing masing sehingga dalam pembagiannya sangat alot.
Misalnya, ada orang yang meninggal berinisial A (yang kemudian kita sebut pewaris). Meninggalkan harta 5 M dan ahli waris 5 orang yang bernama B, C, D, E, F. ahli waris ini sepakat untuk membagi harta waris dan bertemu disalah satu tempat pada waktu yang telah ditentukan.
Dibuka oleh anak pertama yaitu B. dengan lantang ia mengatakan “uang 5 M ini kita bagi rata saja, semua dapat 1 M”. anggapannya pernyataan itu akan menjadi solusi untuk adik adiknya, merasa paling bijaksana dan menentukan pembagian yang menurutnya sangat adil. Tetapi apakah adik adiknya akan menerima begitu saja?
Karena ketidak tahuan akan aturan waris. Si C yang merupakan anak ke 2 keberatan dan langsung menyanggah pernyataan kakanya. “ adil dari mananya, ketika pewaris hidup, ia lama dirumah sakit, kalian hanya nengok beberapa kali saja, itu pun hanya sebentar, ditambah lagi saya yang membiayai biaya rumah sakit, seharusnya yang adil itu saya dapat bagian lebih banyak, kita bagi saja, untuk saya 3 M, sisanya 2 M dibagi 4 orang”.
Setelah mendengarkan pernyataan C, dengan banyaknya pengorbanan serta perjuangan tatkala pewaris masih hidup, apakah ahli waris yang lain pasti menerima? Belum tentu, karena punya tolak ukur keadilan masing masing, sehingga anak ketiga yaitu D mengajukan keberatannya dan menyatakan “enak saja 3 M. kamu itu paling dekat dengan pewaris, setidaknya ketika pewaris sehat sering lah ia kasih makan atau apapun kebutuhan kamu, sementara saya yang jauh merantau, boro boro pernah merasakan harta dari pewaris, seharusnya yang adil itu saya dapat bagian banyak”.
Pernyataan D pun tidak begitu saja disetujui, karena masih ada E dan F yang masih kecil. Sehingga E yang juga mewakili F berkata”yang adil itu saya dapat bagian lebih banyak, karena saya sebentar lagi akan menikah membutuhkan biaya banyak, ditambah adik kita yaitu F masih harus sekolah, sementara B, C, dan D sudah punya perusahaan, tidak adil kalau dapat bagian lebih”.
Menyimak pembagian waris seperti itu tentu akan pusing dan malah menciptakan suasana menegangkan yang berpotensi memicu perselisihan. Oleh karena itu pentingnya mengetahui ilmu waris ini, agar tidak terjadi perpecahan dalam keluarga. Ilustrasi permasalahan waris diatas barulah satu dari sekian banyak masalah waris yang sering terjadi, pemicunya tidak lain adalah ketidak tahuan yang melahirkan ketidak mauan diatur dengan aturan waris Islam. Maka dari itu, waspada harta warisan yang tidak halal, salah satu caranya dengan mengenal ilmu waris bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi seluruh anggota keluarga.
Wallahu’alam
(Narasumer: Ustadz Iwan Setiawan, M.H)
[:]