[:id]HALALCORNER.ID, JAKARTA – Teknologi semakin maju, segala urusan sekarang bisa dilakukan dengan mudah. Tidak seperti zaman dahulu yang perlu mengeluarkan energi lebih, mau sekedar memasak nasi pun setidaknya harus melalui beberapa tahapan, belum lagi jika kayu bakar tak kunjung menyala, bisa memakan waktu lama. Apalagi untuk berbelanja, jarak ke pusat perbelanjaan yang cukup jauh tentunya memerlukan pengorbanan waktu dan tenaga, itu pun dibatasi dengan isi dompet yang mengharuskan seseorang menentukan skala prioritas.
Berbeda dengan zaman sekarang, orang tidak perlu berangkat ke tempat perbelanjaan untuk memilih barang yang dibutuhkan, segala kebutuhan dan keinginan ada dalam genggaman. Bahkan, meski dompet dan rekening sedang ada dalam masa kritis, berbagai market place menyediakan fasilitas bayar nanti atau yang kita kenal dengan paylater.
Namun bagaimana sebetulnya hukum dari transaksi paylater ini, apakah bisa menjadi solusi atau justru penggunaannya dilarang oleh Islam?
Secara tersirat praktik paylater ini seperti jual beli dengan pembayaran tangguh (jual beli kredit) atau istilah dalam fikihnya yaitu baí taqsiith yang hukumnya boleh (Imam an Nawawi, Roudhatu at thalibin: 397). Hal ini karena dipahami bahwa ketika konsumen membeli barang pada market place dengan memilih fitur paylater, dianggapnya sedang membeli barang kepada pihak penjual dengan pembayaran ditangguhkan. Padahal yang terjadi bukanlah demikian.
Jika kita telisik lebih dalam, praktik paylater ini ternyata termasuk pada akad utang piutang dimana apabila ada tambahan yang dipersyaratkan diawal termasuk pada riba yang diharamkan. Hal ini karena aktivitas perusahaan penyedia jasa paylater harus tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) nomor 77 tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Infoermasi. Sehingga dari sanalah bisa dilihat status pengguna jasa paylater dalam transaksi tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut, paylater merupakan fasilitas yang disediakan market place yang bekerjasama dengan pihak ketiga dengan memberikan pelayanan kepada konsumen berupa bayar tunda atau bayar nanti. Pengguna jasa paylater (konsumen) statusnya adalah sebagai debitur (Pasal 1 angka 7 POJK nomor 77 tahun 2016). Adapun pihak perusahaan (pihak ketiga) statusnya sebagai kreditur (pemberi utang) (Pasal 1 angka 8 POJK nomor 77 tahun 2016).
Jadi hubungan hukum yang terbangun dalam transaksi paylater ini adalah antara konsumen dan pihak ketiga dengan akad utang piutang, bukan dengan penjual barang atau pun market placenya.
Karena transaksi yang terjadi adalah akad utang piutang, sedangkan dalam praktiknya pihak ketiga itu mensyaratkan adanya tambahan, sebagai contoh disalah satu market place besarnya 1 % setiap transaksi, sehingga praktik ini termasuk pada riba yang diharamkan.
Ibnu Qudamah menyatakan dalam kitabnya Al Mughni
كل قرض شرط فيه ان يزيده فهو حرام بغير خلاف
“Ulama sepakat bahwa setiap pinjaman yang disyaratkan ada tambahannya itu diharamkan”
Wallahuálam
Fan Page : HALAL CORNER
FB Grup :
Website : www.halalcorner.id
Twitter : @halalcorner
Instagram : @halalcorner
[:]