YLKI: Resto Franchise Harus Halal

Photo of author

Via halalmui.org

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menegaskan, untuk menjamin bahwa produk mereka aman dikonsumsi konsumen muslim, maka resto franchise sebaiknya wajib memiliki sertifikat halal.

Hal tersebut disampaikan Tulus Abadi dalam diskusi mencari solusi dalam percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH), yang diadakan oleh Sekretariat DPR-RI bekerja sama dengan Forum Wartawan DPR, pada 2 Juni 2014 di pressroom DPR Gedung Nusantara III.

Hadir sebagai pembicara, Anggota Panja RUU JPH H. Raihan Iskandar, Lc, MM, Direktur LPPOM MUI Ir. Lukmanul Hakim, M.Si, dan Ketua YLKI Tulus Abadi.

Tulus menambahkan, untuk melindungi konsumen pemerintah juga harus meningkatkan pengawasan terhadap peredaran produk. Selama ini masih banyak produk yang tidak jelas informasi kandungannya, misalnya masih ada yang dalam huruf kanji. “Ini juga harus menjadi perhatian,” katanya.

Menurut Raihan, RUU JPH tersebut sebenarnya bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Namun dalam perjalanannya ada masalah krusial yang harus disepakati, misalnya mengenai siapa yang berwenang menangani halal.
Posisi terakhir, katanya, masalah semakin berat ketika bicara tentang fatwa halal, yang melibatkan para ulama. “Kalau melibatkan banyak ulama dan harus berkumpul dalam satu wadah, pasti akan menyebabkan fatwa halal semakin lama,” ujarnya. Masalah lain terletak di eksekutif, karena di pemerintah juga ada perbedaan pendapat.

Oleh karena itu, pihaknya mengusulkan beberapa alternatif lain yang ditawarkan, misalnya MUI menangani fatwa halal. Sementara bidang lain ditangani pemerintah.

“Posisi MUI ini baina wa baina tapi harus dimuliakan. Karena itu, DPR berpendapat bahwa MUI diberi peran yang mulia di bidang halal, yakni menangani fatwa.

DPR menganalogikan tentang zakat, di mana banyak lembaga yang menangani masalah zakat dan semua berjalan dengan baik. Pemerintah juga memiliki lembaga zakat sendiri.

Dalam hal halal, pemerintah selaku regulator bertindak sebagai pengawas. Sedangkan sifat sertifikasi halal, merujuk UU sejenis yang sudah ada maka sifatnya adalah voluntary.

Direktur LPPOM MUI, Ir. Lukmanul Hakim, M.Si menyatakan, yang menjadi perhatian MUI antara lain sifat sertifikasinya. Kalau voluntary, maka urgensi UU JPH menjadi tidak terlalu kuat karena tidak memiliki daya paksa terhadap perusahaan. Yang terjadi selama ini, produsen belum terlalu peduli dengan kehalalan produk, sementara di sisi lain, hak-hak konsumen muslim harus dilindungi. Beberapa kasus di Indonesia membuktikan bahwa isu mengenai produk yang dicurigai mengandung bahan haram direspon sangat serius oleh konsumen muslim. “Kalau peredaran produk yang tidak halal tersebut masih beredar luas di masyarakat tanpa keterangan apapun pada kemasannya, siapa yang harus bertanggung jawab?,” kata Lukmanul Hakim.

Sifat azasi dari RUU JPH, menurut Lukmanul Hakim adalah perlindungan, sehingga sifat UU JPH sebagai mandatory merupakan sebuah keniscayaan.

Berkaitan dengan perlindungan, maka MUI berpandangan bahwa jika kewenangan sertifikasi halal ditangani pemerintah, maka dikhawatirkan isu halal bisa dimainkan sebagai senjata dalam persaingan bisnis. Negara lain bisa menekan Indonesia untuk mengakui produk yang mereka impor ke Indonesia, meski MUI berpandangan bahwa produk tsb tidak halal. “Kalau ini yang terjadi, konsumen muslim akan sangat dirugikan,” ujarnya.

Peran pemerintah, kata Lukmanul Hakim, bisa dioptimalkan dalam hal sosialisasi, edukasi, pengawasan dan penindakan hukum. Selama ini beberapa peran sudah dijalankan oleh Badan POM. Namun, Badan POM tidak bisa bekerja sendirian, terlebih lagi di bidang edukasi dan penindakan hukum.

Mengenai lembaga sertifikasi halal, MUI berpendirian bahwa untuk menghindari kebingungan masyarakat dan perbedaan pandangan di kalangan ulama, maka hal tersebut sebaiknya tetap ditangani oleh MUI yang telah memiliki lembaga pemeriksa halal, yakni LPPOM MUI dan lembaga fatwa, yakni Komisi Fatwa MUI. “Ini sudah ideal dan tidak menimbulkan kebingungan masyarakat.”

Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan, dalam UU Perlindungan Konsumen sebenarnya sudah diatur mengenai hak-hak konsumen, termasuk dalam hal halal. Dalam hal RUU JPH, menurut Tulus idealnya memang mandatory. Namun, harus pula diingat bahwa untuk hal tersebut perlu diperhatikan aspek-aspek lain, seperti infrastruktur, kesiapan SDM dan sebagainya. Sebagai jalan tengah diusulkan agar mandatory halal dapat diterapkan secara bertahap dan diterapkan pada daerah dan jenis produk tertentu. Resto franchise dari luar negeri, harus halal. Tapi kalau di Bali, rasanya tidak mudah untuk menerapkan UU halal secara mandatory di sana.

Pemerintah, kata Tulus, hanya bertindak selaku regulator, tak pantas menjadi operator. Kalau kedua peran tersebut dijalankan oleh pemerintah, besar kemungkinan akan menjadi ladang korupsi. “Ingat masalah haji,” tukasnya.

Jika MUI bersikukuh menangani pemeriksaan halal, harus pula diingat bahwa MUI harus bisa melayani sertifikasi halal sampai ke seluruh pelosok Indonesia. Jangan karena pelayanannya hanya di Jakarta dan kota-kota tertentu saja maka hal tersebut akan menimbulkan biaya tambahan bagi pengusaha daerah yang harus membayar lebih mahal,” kata Tulus Abadi.

Tinggalkan komentar