Tegal. Dalam Sidang Pleno Ijtima’ Ulama 2015 disepakati bahwa proses istihalah tidak mengubah bahan najis menjadi suci. Kecuali kalau berupa istihalah binafsiha, atau terjadi perubahan dengan sendirinya, dan materialnya bukan berasal dari najis ‘aini. Seperti dalam hal khamar yang berubah menjadi cuka, baik terjadi perubahan dengan sendirinya, maupun dengan direkayasa, maka hukumnya suci.
Selanjutnya ditetapkan pula, setiap bahan halal yang diproses dengan media pertumbuhan yang najis atau bernajis, maka naha tersebut hukumnya mutanajis yang harus dilakukan penyucian sesuai dengan kaidah syari’ah Tathhir Syar’i dan setiap bahan yang terbuat dari babi atau turunannya, maka haram dimanfaatkan untuk membuat makanan, minumam, obat-obatan, kosmetika maupun barang gunaan, baik digunakan sebagai bahan baku, bahan tambahan maupun bahan penolong.
Istihalah itu sendiri, yang berarti perubahan, merupakan ungkapan yang dignakan dalam pembahasan fiqh mengenai berbagai hal, termasuk perubahan benda najis atau mutanajis. Perubahan itu terjadi karena berbagai sebab, dan mengakibatkannya berdampak pada perubahan hukum yang berbeda.
Pembahasan istihalah dengan berbagai sebab itu dipandang semakin penting untuk ditelaah dan dilakukan, terutama karena makin banyak beredar jenis makanan, minuman, obat, dan lainnya, yang disinyalir sengaja dicampur dengan bahan najis, seperti enzim babi, dan lain lain. Sejatinya, persoalan ini tidak sederhana, karena tidak cukup berdasar pada dugaan semata. Tetapi diperlukan tahqiq (verifikasi), dengan menggunakan peralatan yang akurat oleh tenaga ahli.
Disertasi Doktoral
Sebelumnya, Dr. Ir. Lukmanul Hakim. M.Si, memberikan presentasi tentang hsil penelitiannya, yang kemudia ditulis menjadi Disertasi Doktoral. Dalam paparannya sebagai panelis dalam rangkaian acara Ijtima’ Ulama yang diselenggarakan pada 7-10 Juni 2015 di Pondok Pesantren At Tauhidiyah, Tegal itu, ia menyajikan hasil penelitian ilmiah yang dilakukannya secara mendalam dan terbukti bahwa perubahan khamar yang haram menjadi cuka yang halal, terjadi perubahan yang bersifat total secara fisika maupun kimiawi. Sedangkan perubahan bahan babi menjadi gelatin, hanya terjadi perubahan sebagian.
Lalu ia memberikan contoh, collagen dari babi yang diproses menjadi gelatin, misalnya, sebagai bahan untuk membuat kapsul, adalah seperti gelas kaca pecah menjadi bagian-bagian kecil, Yaitu bahwa pecahan gelas itu hakikatnya tetap sebagai kaca. Dari contoh ini dapat dipahami, collagen babi yang diproses menjadi bahan gelatin, pada hakikatnya tetap merupakan bahan babi yang diharamkam dalam Islam.
Hasil penelitian mendalam yang dilakukan Dr. Ir. Lukmanul Hakim, M.Si, tersebut, bagi para ulama merupakan tahqiq (verifikasi) yang menjadi bagian dalam pertimbangan untuk menetapkan fatwa. Sehingga dalam Sidang Pleno Ijtima’ Ulama 2015 pada 09 Juni 2015, yang dipimpin oleh K.H. Ma’ruf Amin, para ulama sepakat, tidak ada istihalah untuk babi. Dan setiap bahan yang terbuat dari babi atau turunannya, maka hukumnya tetap haram. (USm).
Sumber : halalmui.org – 10 Juni 2015