HALALCORNER.ID, JAKARTA – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja atau yang dikenal Perppu Ciptaker telah disahkan Presiden Joko Widodo di akhir tahun 2022. Kendati Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan penerbitan Perppu Cipta Kerja sangat mendesak dan diperlukan terkait perekonomian Indonesia yang terancam resesi global, perppu ini mendapatkan banyak sorotan dari berbagai pihak.
Tak hanya menimbulkan polemik dari sudut pandang ketenagakerjaan terkait upah minimun, outsourcing atau alih daya, pesangon hingga Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PWKT), beberapa poin yang mendapat perhatian dari kalangan penggiat halal.
Dengan dalih memudahkan perijinan di sektor ekonomi, perubahan dalam perppu nomor 22 tahun 2022 ini terdapat perubahan pada Pasal 4 dan Pasal 5. Di antara pasal 4 dan pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A.
Pasal 4A yang dimaksud dalam perppu nomor 22 tahun 2022 adalah sebagai berikut:
(1) Untuk Pelaku Usaha mikro dan kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 didasarkan atas pernyataan halal Pelaku Usaha mikro dan kecil.
(2) Pernyataan halal Pelaku Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH.
BPJPH atau Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal sendiri merupakan badan yang dibentuk pemerintah untuk menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (JPH), kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal.
Berdasarkan Pasal 5, pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH tersebut yang dilaksanakan oleh Menteri. Demikian pula BPJPH berkedudukan di bawah dan tanggung jawab Menteri.
Bila dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, sertifikat halal yang merupakan pengakuan kehalalan suatu produk dikeluarkan BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), maka dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2022, pengakuan kehalalan suatu produk diterbitkan BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis atau penetapan produk oleh MUI, MUI provinsi, MUI kabupaten/kota, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, atau Komite Fatwa Produk Halal.
Dalam Pasal 33 disebutkan bahwa penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI, MUI provinsi, MUI kabupaten/kota, atau Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh melalui sidang fatwa halal. Sidang fatwa halal untuk memutuskan kehalalan produk ini dilaksanakan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI, MUI provinsi, MUI kabupaten/kota, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari Lembaga Pemeriksa Halal atau LPH.
Dan bila batas waktu terlampaui, penentapan kehalalan produk dilakukan Komite Fatwa Produk Halal berdasarkan ketentuan Fatwa Halal.
Berdasarkan Pasal 33A, Komite Fatwa juga melakukan penetapan kehalalan produk dari permohonan sertifikasi halal yang dilakukan pelaku usaha mikro dan kecil melalui pernyataan halal atau halal self declare.
Halal self declare merupakan pernyataan status halal produk usaha mikro dan kecil oleh pelaku usaha itu sendiri dengan tetap mengikuti mekanisme yang telah diatur. Kategori self declare meliputi sejumlah kriteria khusus seperti produk yang dimiliki sederhana, tidak berisiko serta memiliki proses produksi yang menggunakan bahan-bahan yang telah dipastikan kehalalannya.
Sesuai Pasar 33B Perppu No 2 Tahun 2022, Komite Fatwa Halal dibentuk dan bertanggung jawab kepada Menteri yang terdiri dari unsur ulama dan akademisi.
Terkait berbagai perubahan yang tertera dalam Perppu No 2 Tahun 2022 dapat dipahami hal-hal sebagai berikut:
- Dalam regulasi sebelum digunakannya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yaitu pada Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 519 tahun 2001, MUI diamanatkan sebagai lembaga sertifikasi halal serta untuk melakukan pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan sertifikat halal
- Dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, kewenangan MUI dibatasi dalam 3 (tiga) hal yaitu akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), sertifikasi auditor halal dan penetapan kehalalan
- UU Cipta Kerja terkait JPH menghilangkan kewenangan MUI di UU JPH dan membatasi hanya; penetapan kehalalan produk
- Perppu No 2 Tahun 2022 terkait Jaminan Produk Halal mereduksi kewenangan MUI hanya pada penetapan kehalalan atas produk yang lewat jalur LPH dengan catatan tidak lebih 3 hari. Perpu mengalihkan kewenangan fatwa halal dari MUI ke komite Halal bila penetapan kehalalan produk yang lewat jalur LPH lebih dari 3 hari atau penetapan kehalalan produk yang lewat jalur pernyataan pelaku usaha (halal self declare)
Fan Page : HALAL CORNER
FB Grup : bit.ly/FBGrupHalalCorner
Website : www.halalcorner.id
Twitter : @halalcorner
Instagram : @halalcorner
Redaksi : HC/IB